Abu 'Abdullah
Muhammad bin Idris al-Syafi'i atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i yang akrab
dipanggil Imam Syafi'i adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri
mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib,
saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke
Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada
murid-murid Imam Hanafi di sana. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk
Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran
Suatu saat Idris bin
Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju
kampung Gaza, Palestina, dimana saat itu umat Islam sedang berperang membela
negeri Islam di kota Asqalan.
Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang
mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, "Jika
engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku
panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib."
Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan
terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan
dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam
Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula
yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar
tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada
tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang
bernama Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya
Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan
mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama
Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah
menakdirkan Imam Asy-Syafi`i.
Nasab
Idris, ayah Imam Syafi'i
tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia
termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin
Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim
bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin
Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu
dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi
Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin
Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib
bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi
Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’
bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie
Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang
kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin
Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka
(yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau
menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau. ”
—HR. Abu Nu’aim
Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66
Masa belajar
Setelah ayah Imam
Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah,
tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak
kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari
seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam
Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga
ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai
senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya.
Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah,
seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti
Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin
Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali
bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman
bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih
banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya
dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau
pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis
dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan
lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut
menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan
sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi
Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan
kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan:
“Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah
diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu,
pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di
Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid,
Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim
bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah
pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut
nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i
kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet
Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin,
Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau
melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau
banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri
Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab
Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke
Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan.
Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu
dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya
(madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan
madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di
akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah satu
karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al
Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak
dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah
orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang
pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’
Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul,
hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki
sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang
banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al
Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan
(menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah
mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang
melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad
mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam
Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa,
tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidak dikenal darinya, bahkan beliau benci
kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah,
seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin
‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil
kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak
keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab
dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang
menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan
Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala. Beliau tidak menyerupakan nama dan
sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak
menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam
masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum
dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun
untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah)
dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang
menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun
jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu
tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan
pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya
sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya
sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu
beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam
berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu
Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih,
beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya.
Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya
menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol
adalah: 1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam
Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin. 2. Al-Hasan bin Muhammad
Az-Za’farani 3. Ishaq bin Rahawaih, 4. Harmalah bin Yahya 5. Sulaiman bin Dawud
Al Hasyimi 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak
sekali.
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah”
yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin
Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i
mengatakan, “Al-Qur’an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
Al-Umm
Sementara kitab “Al
Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di
Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa,
menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah
kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada
jalan untuk selamat dari (ucapan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan
hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena
mereka orang yang paling banyak benarnya.”
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang
menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah
taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari
Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak
mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam
kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
Akhir Hayat
Pada suatu hari,
Imam Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik
kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus
kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia
menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu
lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang
maupun malam.
Pada suatu hari muridnya Al-Muzani masuk
menghadap dan berkata, "Bagamana kondisi Anda wahai guru?" Imam
Syafi'i menjawab, "Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para
saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus
terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju
surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga
aku harus berkabung?".
Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya
berkata kepada mereka, "Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali
(penguasa), dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku," lalu sepupunya
berkata, "Kami akan turun sebentar untuk shalat." Imam menjawab,
"Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku."
Setelah sepupu dan murid-muridnya shalat, sang Imam bertanya, "Apakah
engkau sudah shalat?" lalu mereka menjawab, "Sudah", lalu ia
minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata,
"Biar kami campur dengan air hangat," ia berkata, "Jangan,
sebaiknya dengan air safarjal". Setelah itu ia wafat. Imam Syafi'i wafat
pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204
Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.
Tidak lama setelah kabar kematiannya tersebar di
Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari
rumah ingin membawa jenazah diatas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang
menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan
rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu
Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk
memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, "Apakah
Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab mereka serempak. Lalu
wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah
itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.
Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya,
melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba,
sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan
jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, beliau turun ke halaman
rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah merahmati
asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak
Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan
Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang
diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam
sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke
makamnya karena banyaknya peziarah.
0 Comments