Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz

 

Biografi Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz

Daftar Isi Profil Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz

  1. Kelahiran 
  2. Pendidikan
  3. Guru-Guru
  4. Sosok Pendakwah
  5. Mendirikan Pesantren
  6. Kisah Teladan
  7. Karomah
  8. Karya-Karya

KELAHIRAN

Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syeikh Abu Bakar lahir pada hari Senin tanggal 4 Muharram 1383 H, atau bertepatan pada tanggal 27 Mei 1963 pada pagi hari sebelum terbit matahari, di Tarim, Hadhramaut, Yaman.

Beliau tumbuh di antara keluarga shaleh dan berilmu, ayah beliau, Habib Muhammad bin Salim adalah seorang ulama terpandang yang mencapai derajat mufti dalam mazhab Syafi’I, kakek beliau, Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim juga adalah seorang ulama yang produktif, sedangkan saudara tertua beliau yaitu Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz adalah seorang ahli fiqih yang sampai saat ini menjadi pemuka para mufti kota Tarim.

PENDIDIKAN

Cinta terhadap ilmu dan kaum sholihin telah tertanam dalam jiwa al Habib Umar sejak beliau telah menghafal al-Quran dan mempelajari ilmu-ilmu dasar agama. Ketika beliau berumumr 9 tahun ayah beliau yaitu Habib Muhammad bin Salim diculik oleh orang-orang komunis yang saat itu sedang berkuasa di kawasan Yaman Selatan, ayah beliau diculik lantaran tegas dalam menyampaikan dakwah dan kebenaran, hingga sampai saat ini beliau tidak diketahui keberadaannya.

Ketika beliau masih kecil, keadaan Hadramaut tidak kondusif, tekanan dan intimidasi dilakukan kepada para ulama dan pengajar, namun hal itu tidak menyurutkan semangat Habib Umar, dengan sembunyi-sembunyi beliau belajar pada ulama di masa itu. Selain belajar pada ayahandanya, al Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz.

Beliau juga belajar pada al Habib Muhammad bin Alwi bin Syihab, al Munshib al Habib Ahmad bin Ali bin Syekh Abu Bakar, al Habib Ibrahim bin Agil bin Yahya (di Kota Taiz – Yaman), juga kepada al Habib Imam Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Abdullah bin Syeikh Al-Aydarus, Habib Abdullah bin Hasan Bilfaqih, Habib Umar bin Alwi Al-Kaff, Habib Ahmad bin Hasan Al-Haddad, Habib Ali Al-Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri, Syeikh Al-Mufti Fadhl bin Abdurrahman Ba Fadhl dan Syeikh Taufiq Aman.

Di samping itu dalam kesempatan inilah beliau ke Haramain untuk berhaji. Beliau juga menyempatkan untuk mengikat hubungan dengan banyak ulama disana. Dari tangan merekalah al Habib Umar menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu fikih, tauhid, usul fikih, sejarah, tata bahasa hingga ilmu Tazkiah (tasawuf). Dan sejak umur 15 tahun beliau telah terbiasa untuk menyampaikan ilmu yang didapatkan dari guru-gurunya itu dalam rangka dakwah ilallah.

Sembari terus belajar, semenjak usia lima belas tahun beliau telah mengajar dan berdakwah. Kemudian pada permulaan bulan Shafar 1402 H yang bertepatan dengan bulan Desember 1981 M, beliau pindah ke kota Baidha’, dan menetap di Ribath Al-Haddar. Di sana beliau berguru kepada Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar dan Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith.

Dewasa itu beliau gencar berdakwah dan mengajar di sekitar kota Baidha’, Hudaidah dan Ta’iz. Di kota Ta’iz inilah beliau berguru kepada Al-’Allamah Al-Musnid Ibrahim bin Umar bin ‘Aqil. Kemudian pada bulan Rajab 1402 H yang bertepatan dengan bulan April 1982 M, beliau berkunjung ke Haramain. Di sana beliau berguru kepada Habib Abdulqadir bin Ahmad Asseqqaf, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abu Bakar Al-Aththas bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau juga memperoleh ijazah sanad Hadits dari Al-Musnid Syeikh Muhammad Yasin Al-Faddani dan Muhadditsul Haramain Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki serta sejumlah ulama lainnya.

GURU-GURU

  1. Habib Muhammad bin Salim (ayah)
  2. Habib Muhammad bin Alwi bin Shahab
  3. Habib Ahmad bin Ali bin Syekh Abu Bakar
  4. Habib Muhammad bin Abdullah al Haddar (di kota Baidho – Yaman)
  5. Habib Ibrahim bin Agil bin Yahya (di Kota Taiz – Yaman)
  6. Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf
  7. Habib Abdullah bin Syeikh Al-Aydarus
  8. Habib Abdullah bin Hasan Bilfaqih
  9. Habib Umar bin Alwi Al-Kaff
  10. Habib Ahmad bin Hasan Al-Haddad
  11. Habib Ali Al-Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
  12. Habib Salim bin Abdullah As Syatiri
  13. Syeikh Al-Mufti Fadhl bin Abdurrahman Ba Fadhl
  14. Syeikh Taufiq Aman
  15. Al-’Allamah Al-Musnid Ibrahim bin Umar bin ‘Aqil
  16. Al-Musnid Syeikh Muhammad Yasin Al-Faddani
  17. Muhadditsul Haramain Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki

SOSOK PENDAKWAH

Waktu beliau seakan hanya untuk dakwah, tiada menit dan detik kecuali beliau sibuk dengan urusan dakwah, beliau kerap kali melakukan perjalan ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Haramain, Syam, Mesir, Afrika, Asia Tenggara, hingga ke daratan Eropa. Kita ketahui sendiri al Habib Umar setiap tahunnya pada bulan Muharram mengunjungi Indonesia.

Dakwah beliau juga sangat dirasakan kesejukannya dan disambut dengan hangat oleh umat Islam di Indonesia. Masyakarat menyambut beliau dengan sangat antusias dan hangat, mengingat bahwa kakek beliau yang kedua, al Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim, berasal dari Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia.

Dakwah beliau yang sangat indah dan sejuk itu yang bersumber dan kakek beliau Nabi Muhammad saw, sangatlah diterima oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun rakyat, kaya ataupun miskin, tua muda.

Di Indonesia al Habib Umar sudah beberapa kali membuat kerjasama dengan pihak bahkan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Kelembagaan Keagamaan Departemen Agama RI meminta pembuatan kerjasama dengan al Habib Umar dan Darul Musthafa untuk pengiriman SDM yang berkualitas, khususnya para kyai pimpinan pondok pesantren untuk mengikuti program pesantren kilat selama tiga bulan dibawah bimbingan langsung al Habib Umar.

Sampai saat ini, banyak sudah santri-santri di Indonesia yang menuntut ilmu di pondok pesantren yang beliau pimpin, Darul Musthafa di Hadramaut, dan telah melahirkan banyak da’i-da’I yang meneruskan perjuangan dakwahnya di berbagai daerah di Indonesia.

MENDIRIKAN PESANTREN

Selanjutnya pada tahun 1413 H/1992 M, beliau pindah ke kota Syihr dam mengajar di Ribath Syihr. Beliau menetap di sana selama beberapa tahun. Satu tahun setengah sebelum ke Syihr, beliau tinggal di Oman untuk mengajar dan berdakwah di sana. Setelah itu beliau kembali ke kota Tarim, dan pada tahun 1414 H/1994 M beliau mulai merintis pendirian pesantren ‘Darul Musthafa’ yang kemudian secara resmi berdiri pada hari Selasa 29 Dzulhijjah 1417 H/6 Mei 1997 M.

KISAH TELADAN

Ketika Habib Umar al-Hafidz Lebih Memilih Janda

Dikisahkan bahwa ketika Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz telah berusia 25 tahun dan sudah siap untuk menikah, Sang Guru yaitu al-Imam al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar pun memberikan tawaran kepada al-Habib Umar untuk menikah dengan salah satu putrinya. Al-Habib Umar pun disuruh untuk memilih salah satu di antara dua putri Sang Guru.

Pilihan pertama adalah putri beliau yang masih muda dan perawan. Dan pilihan kedua adalah putri beliau yang sudah berstatus janda. Tanpa pikir panjang, al-Habib Umar pun memilih putri gurunya itu yang sudah berstatus janda. Ketika Sang Guru menanyakan apa yang menyebabkannya menentukan pilihan itu, al-Habib Umar pun menjawab: “Aku ingin ditemani oleh seseorang yang telah memiliki pengalaman di dalam menjalani kehidupan, karena suatu saat nanti aku akan membawa beban yang cukup berat (perjuangan dakwah).

Dan satu lagi yaitu, aku ingin mengikuti apa yang dilakukan oleh Kekasihku Muhammad al-Musthafa Saw.” Rasulullah Saw. ketika menikahi Sayyidah Khadijah Ra. berumur 25 tahun dan Sayyidah Khadijah Ra. sudah berstatus janda.

(Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 08 Desember 2013 Disadur dari fp: Idolaku Nabi Muhammad SAW)

Akhlak Habib Umar al-Hafidz

Berikut ini ada sekelumit kisah menarik tentang keluhuran budi pekerti Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz yang dikisahkan langsung oleh penulisnya. Berikut saya akan kutip kisahnya, semoga lantaran kisah ini membuat kita semakin rindu akan kehadiran beliau di bumi Indonesia pertiwi pada tahun-tahun berikutnya. [Aamiin.] Ini adalah pengalaman pribadi saya (Habib Ahmad ibn Muhammad Alkaff) yang tak akan pernah terlupa tentang kemuliaan akhlak Guru Mulia Alhabib Umar ibn Hafidz.

Waktu itu pertengahan April 1994 musim dingin di kota Tarim-Hadramaut mulai menyapa kami, yang memang kami sendiri belum terbiasa dengan dinginnya cuaca Tarim tatkala musim dingin tiba. Alhabib Umar pun telah menyiapkan untuk kami para santrinya dari Indonesia yang waktu itu sangatlah manja dengan sebuah selimut tebal yang mahal, masing-masing dari kami mendapatkan satu selimut.

Kisah pun bermula, seperti biasanya selepas Ashar kami dan Alhabib Umar menuju kota Tarim untuk menghadiri "rauhah" dan maulid dikota tersebut. Selepas acara kami pun kembali kekediaman Alhabib Umar dikota Aidid. Biasanya kami pulang larut malam dan karena pada waktu itu Alhabib Umar hanya memiliki 1 mobil maka kami pun selalu berebutan untuk menaiki mobil tersebut. Terkadang mobil nissan patrol itu dimuat oleh 20 orang lebih sehingga penuh didalam dan diatas mobil.

Kami berebut karena memang jika kami tidak dapat tempat di mobil tersebut terpaksa kami akan pulang dengan berjalan kaki yang berjarak kurang lebihnya 5 km. Saya dan dua teman saya pada waktu itu kurang beruntung. Walhasil, kami bertiga berjalan kaki untuk pulang kerumah Alhabib Umar. Sesampainya ditempat Alhabib Umar, kami mendapati teman-teman kami yang lain telah mendapatkan selimut tebal yang baru saja dibagikan oleh Alhabib Umar.

Kami pun bergegas menemui Alhabib Umar. Tetapi, lagi-lagi kami kurang beruntung karena selimutnya telah habis. Alhabib Umar mengatakan bahwa toko penjual selimutnya kehabisan stok dan berjanji akan memenuhi kekurangannya besok pagi. Kami pun pamit kepada beliau untuk tidur. Akan tetapi, sebelum kami pergi Alhabib Umar menyuruh kami untuk menunggu. Kami menunggu Alhabib Umar yang masuk kedalam rumahnya. Beberapa saat kemudian habib umar pun keluar dengan membawa beberapa selimut tipis dan lusuh dan membagikannya kepada kami bertiga.

Kami pun menerima selimut itu tanpa pikir panjang lalu kami pun pulang menuju asrama yang berada tepat dibelakang rumah Alhabib Umar. Kami membagikan selimut tipis dan lusuh pemberian Alhabib Umar yang berjumlah 2 selimut besar dan 3 selimut kecil untuk kami bertiga. Baru saja kami meluruskan badan untuk tidur terdengar tangisan bayi yang tak henti-hentinya yang kami yakin itu adalah tangisan anak Alhabib Umar yg masih bayi pada waktu itu.

Kami pun sempat bertanya tanya dalam hati kenapa bayi itu menangis sepanjang malam. Sambil tetap berusaha untuk memejamkan mata. Menjelang Subuh suara tangisan bayi pun berhenti, mungkin karena kelelahan menangis sepanjang malam. Kami pun bergegas menuju ke masjid Aidid yang terletak persis didepan rumah Alhabib Umar sambil membawa kitab nahwu yang akan kami pelajari setelah shalat Subuh dibawah bimbingan langsung Alhabib Umar.

Setelah selesai belajar nahwu kami pun pulang ke asrama kami. Dipertengahan jalan kami bertemu dgn Habib Salim anak dari Alhabib Umar bin Hafidz yang waktu itu masih berusia 6 tahun. Kami mencoba menyapa dan bertanya, "Wahai Salim mengapa adik bayimu menangis tak henti hentinya tadi malam? Apakah dia sakit?“ Habib Salim pun menjawab, "Tidak, adikku tidak sakit." Jawab Habib Salim. "Lalu apa yang membuatnya menangis?" Tanya lagi kami. Dengan keluguannya Salim pun menjawab, "Mungkin karena kedinginan, karena semalam kami sekeluarga tidur tanpa selimut?!" Bagai tersambar petir kami terkejut mendengar ucapan polos tersebut.

Kami pun berlari menuju asrama untuk mengambil selimut lusuh yang ternyata milik keluarga Alhabib Umar yang beliau berikan kepada kami dan beliau sekeluarga rela tidur tanpa selimut di dinginnya malam kota Tarim demi anak-anak muridnya. Kami kembalikan selimut tersebut kepada Alhabib Umar sambil membendung air mata dan tanpa tahu harus berkata apa.

Dengan senyum dan seolah-olah tak terjadi apa-apa, Alhabib Umar menerima selimut dari kami dan menggantikan selimut tersebut dengan yang baru, yang juga baru saja dikirim oleh pemilik toko. Kami pun kembali keasrama tanpa dapat membendung lagi air mata kami yang melihat kemuliaan yg beliau berikan kepada kami. Sambil berkata di dalam hati, "Ya Allah ternyata di abad ini masih ada orang yang berhati begitu mulia seperti beliau. Terimakasih Ya Allah yang telah mempertemukan aku dengan manusia mulia dikehidupanku ini." (Sedikit editan dari al Faqir, semoga ada manfaatnya).

Gelar Al-Hafidz

Pujian dari Habib Munzir bin Fuad Al Musawa: "Guru Mulia kita Al Habib Umar bin Hafidh beliau sudah hafal 20.000 hadits di usia sebelum 20 tahun lalu meneruskan hingga selesai ke 100.000 hadits, namun saat kunjungan beliau kemarin, beliau menegur saya untuk tidak menyebutkan gelar al-Hafidz pada nama beliau” (al-Hafidz adalah gelar yang lazim di berikan para ulama lainnya kepada para ulama yang telah menghapal lebih dari 100.000 hadits beserta sanad dan matannya).

Demikian tawadhunya Guru Mulia kita ini, tidak suka gelarnya disebut, padahal kini untuk masuk pesantren beliau di Darulmustafa syaratnya mestilah hafal Al-Qur'an dan dua ribu hadits berikut sanadnya.

Sekarang Mahad Darul Musthofa mempunyai peraturan baru, pesantren beliau itu yang masuk kesana syaratnya hafal Alquran dan hafal 2.000 hadits. Demikian salah satu syarat bagi mereka yang mau belajar bersama beliau karena barangkali beliau sudah melihat dan sudah waktunya menumpahkan tugasnya ilmu hadits yang beliau miliki, yang selama ini barangkali terpendam karena keterbatasan kemampuan dari orang – orang yang belajar kepada beliau."

KAROMAH

Suatu saat Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz ingin melakukan perjalanan dakwah ke pedalaman Afrika. Ketika itu beliau ditemani oleh seorang muallaf bernama Khomis. Khomis adalah salah satu diantara orang-orang yang masuk Islam melalui perantara tangan al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad dan sering membantu kegiatan dakwah beliau selama di daerahnya. Pedalaman Afrika yang ingin dikunjungi oleh al-Habib Umar harus melewati hutan belantara, yang mana hutan belantara Afrika terkenal akan hewan buasnya.

Tapi dengan mantap Habib Umar bin Hafidz memberikan isyarat untuk segera berangkat. Dimulailah perjalanan dakwah beliau. Sebelum masuk ke dalam hutan, beliau beserta rombongan dihentikan oleh beberapa orang polisi yang sedang berjaga di sebuah pos dekat dengan hutan yang ingin dilalui oleh al-Habib Umar. Mereka hendak memperingatan agar al-Habib Umar tidak memasuki hutan karena hari sudah malam.

Ditakutkan beliau dan rombongan akan diserang oleh beberapa hewan buas yang keluar untuk mencari mangsa di saat malam tiba. Al-Habib Umar pun keluar dari mobil yang ditumpanginya dan berdiri di samping mobil tersebut. Serta merta al-Habib Umar memerintahkan seseorang untuk menggelar tikar di dekat mobil dan memerintahkan rombongan untuk membaca Maulid al-Habsyi (Simthud Durar).

Pembacaan maulid pun dimulai. Karena para polisi yang berjaga di pos itu beragama Kristen, mereka pun hanya bisa menonton dari kejauhan. Setelah pembacaan maulid selesai, al-Habib Umar mendapat isyarat untuk melanjutkan perjalan malam itu juga. Para polisi itu tetap berusaha untuk mencegahnya, tapi al-Habib Umar bersikeras ingin melanjutkan perjalanannya.

Para polisi pun kalah argumen dan berinisiatif untuk mengikuti al-Habib Umar dari belakang menggunakan mobil lain, takut kalau tejadi apa-apa dengan al-Habib Umar dan rombongan. Di tengah perjalanan hal yang dikhawatirkanpun terjadi. Di depan mobil yang ditumpangi oleh al-Habib Umar, muncul seekor singa. Ketika itu al-Habib Umar duduk di kursi depan. Mulailah singa itu mengitari mobil tersebut. Walaupun demikian sang Habib tetap tenang, berbeda dengan rombongan lain yang mulai menunjukkan rasa ketakutannya.

Tak lama kemudian singa itu berhenti di depan jendela sebelah tempat duduk al-Habib Umar, lalu menaikkan kaki depannya ke atas jendela. Al-Habib Umar pun tetap tenang tanpa menunjukkan rasa ketakutan sedikitpun. Lalu beliau berkata kepada supir: “Turunkan jendela ini!” Supir pun menjawab dengan ketakutan: “Ya Habib, ini singa!” Tapi al-Habib Umar tetap ingin agar dia menurunkan jendela tersebut.

Kaca jendela pun diturunkan. Suatu kejadian menakjubkan pun terjadi, al-Habib Umar mengajak bicara singa tersebut! “Hai singa! Kami ini adalah utusan Rasulullah Saw.” Kemudian al-Habib Umar mengambil sebuah pisang dan memberikannya kepada singa itu. Singa yang biasanya makan daging, kali ini mau memakan pisang yang diberikan al-Habib Umar.

Setelah memakan pisang itu, singa mengangguk-anggukkan kepalanya lalu pergi meninggalkan al-Habib Umar dan rombongan. Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Tak lama kemudian al-Habib Umar dan rombongan sampai ke tempat tujuan. Setelah menyaksikan kejadian yang luar biasa itu, para polisi yang sebelumnya beragama Kristen itupun ingin mengikrarkan diri mereka untuk masuk agama Islam. Ternyata kejadian yang mereka saksikan menjadi sebab hidayah Allah SWT. yang ingin mengembalikan mereka ke dalam pelukan Islam.

KARYA-KARYA

Ditengah kesibukannya sebagai pendidik dan juru dakwah Habib Umar masih sempat menulis beberapa kitab, diantaranya:

  1. Is’af tholibi ridho alkhallak bimakarimi alkhallak
  2. Taujihat tullab
  3. Syarah mandhumah sanad alawiy
  4. Khuluquna
  5. Dakhirah musyarafah
  6. Khulasoh madad an-nabawiy
  7. Diyaul lami bidhikri maulidi nabi as-syafi
  8. Syarobu althohurfi dhikri siratu badril budur
  9. Taujihat nabawiyah
  10. Nur aliman
  11. Almukhtar syifa alsaqim
  12. Al washatiah
  13. Mamlakatul qa’ab wa al ‘adha’
Reactions

Post a Comment

0 Comments